Minggu, 20 Maret 2011

V. Kerajaan Galuh ( Bagian I )

Pengantar Banyak heroisme tokoh Galuh yang diceritakan para juru pantun, seperti kisah Ki Balangantrang dan Ciung Wanara, sekalipun dalam babad lain peran Balangantrang dianggap kurang baik, namun hanya karena ada perbedaan cara pandang. Cerita Galuh ...lainnya yang telah menjadi milik rakyat secara turun temurun dan melegenda di Nusantara adalah Lutung Kasarung, diduga tokoh Lutung Kasarung adalah Minisri, bergelar Darmasakti Wirayesawara, salah satu raja Galuh pengganti dan menantu Manarah yang menikah dengan puspasari (purbasari). Cerita rakyat dan epos Galuh tidak bisa dilepaskan dari pasang surut dua negara besar di Pasundan, yakni Sunda dan Galuh pasca Galuh memerdekakan diri dari bawahan Sunda awal yakni Tarumanagara (Sundapura). Ketika jaman Manarah kerajaan Sunda pernah dibawah control Galuh, akibat dari Perjanjian Galuh dan keberhasilan Manarah merebut kekuasaan dari Tamperan Barmawijaya, anak Sanjaya. Sebelumnya Sanjaya pernah menyatukan kekuasaan Sunda dan Galuhanya, bahkan meluas hingga Kalingga. Kekuasaan Sanjaya dipulau Jawa jika dilihat dari peta pulau Jawa, praktis menguasaiseluruh wilayah jawa, sehingga tak heran jika Carita Parayangan banyak menulis kisah Sanjaya ini agak lebih terperinci. Kekuasaan Sanjaya atas wilayah Galuh didapatkan setelah menerima warisan kerajaan Sunda dari Terusbawa, mertuanya. Kemudian kekuasaan di Galuh ia dapatkan setelah merebut dari Purbasora yang menyingkirkan Bratasewa, ayah Sanjaya. Namun perseteruan dari dua kerajaan berakhir secara alamiah, akibat perkawinan campuran antara keturunan Manarah dengan keturunan Bangga. Menurut para akhli sejarah sebagaimana ditulis dalam rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Saleh Danasasmita, Sunda dan Galuh memiliki entitas yang mandiri, perbedaan tradisi yang mendasar. Menurut Prof. Anwas Adiwilaga Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Perbedaan tradisi Sunda dan Galuh mungkin pada waktu itu dianggap menghambat hubungan keduanya. Urang Galuh merasa kurang nyaman jika dipimpin keturunan Sunda, demikian pula sebaliknya. Upaya menyatukan pernah dilakukan melalui perpaduan atau perkawinan dikalangan para raja dan keluarganya. Misalnya perkawinan keturunan Manarah (Galuh) dengan Banga (Sunda), bahkan dikarenakan Manarah tidak memiliki keturunan laki-laki, maka keturunan Bangga, Rakeyan Wuwus, yang ditikahkan dengan adik Prabu Langlangbumi diangkat menjadi Raja Galuh. Peristiwa ini menandakan adanya perpaduan keturunan Manarah dan Banga. Namun penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan urang sunda. Diyakini diantara kedua leluhur tersebut tidak memiliki rencana dan kesepakatan untuk memilih nama dari gabungan kedua tradisi tersebut, seperti menggunakan nama sunda atau Galuh atau Sunda Galuh. Namun nama sunda sejak abad ke-13 sudah banyak digunakan untuk menyebut Urang Galuh dan Urang Sunda, bahkan sumber-sumberf berita luar sudah banyak menyebut penduduk yang ada di wilayah Jawa Barat dengan istilah Urang Sunda. Mungkin juga Urang Sunda ketika itu dianggap lebih berperan dibandingkan Urang Galuh. Sehingga entitas penduduk di kedua wilayah tersebut disebut Urang Sunda. Tapi ada juga menyebutkan, perbedaan budaya Sunda dan Galuh tidak mendasar dibandingkan dengan etnis lain, masalah ini hanya di blow up oleh pihak penjajah, bertujuan agar Urang Sunda dan Urang Galuh tidak bersatu. Namun biarlah sejarah nanti yang akan membuktikan. Konon kabar waktu adalah Hakim yang paling, karena waktu dapat membuktkan suatu sejarah itu benar atau tidak. Masyarakat tradisional peminat sejarah lisan masih jarang mengetahui hubungan Galuh dengan Kendan yang didirikan Resiguru Manikmaya. Jikapun diceritakan sudah dipastikan disebutkan Galuh atau para juru pantun menceritakannya dalam kisah karuhun Urang Galuh. Secara secara tertulis banyak diceritakan dalam diuraikan dalam naskah Carita Parahyangan, sehingga ada pula yang menyamakan naskah tersebut terhadap sejarah Galuh seperti kedudukan Kitab Pararaton terhadap Majapahit. Adalah Resiguru Manikmaya yang pertama memperoleh Kendan sebagai hadiah dari Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara. Hadiah tersebut bukan hanya sekedar suatu wilayah, semacam perdikan, melainkan termasuk rakyat dan tentaranya. Resiguru Manikmaya sebelum menetap di Kendan terlebih dahulu ngalalana kepusat-pusat agama. Konon kabar sebelum Resiguru nganjrek di Kendan, didaerah tersebut sudah lama dihuni penduduk. Hal ini sebagaimana ditemukan oleh Dinas Kepurbakalaan Bandung, bahkan isitilah Bebatuan Kenda didalam arkeolog dunia sudah tidak perlu disangsikan lagi. Manikmaya dianganggap berjasa menyebarkan agama di wewengkon Tarumanagara. Iapun menantu Suryawarman, raja Tarumanagara ke-7. Ia dinikahkan dengan Tirtakencana. Dukungan terhadap Manikmaya diberikan pula dengan cara menyebar luaskan kedudukannya sebagai penguasa Kendan kepada raja-raja bawahannya. Tarumanagara memperingatkan agar raja-raja lain tidak menganggu Kendan, karena Tarumanagara akan tetap memproteksi Kendan. Kisah Kendan dalam naskah Wangsakerta diceritakan hampir sama dengan sejarah terbentuknya Tarumanagara, semula hadiah dari Salakanagara. Bedanya secara perlahan Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, karena kalah pamor dan lebih berkembangnya ibu kota Tarumanagara, sedangkan Kendan sengaja dipindahkan ke Medang Jati dan ke Galuh, kemudian menjadi kerajaan yang sejajar dengan sunda, penerus Tarumanagara. Leluhur Raja-raja Galuh Kisah Kendan dan Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal, Carita Parahyangan justru dapat menjelaskan muasalnya. Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Nashah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentan waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder. Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam. Namun masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan “pamali” – “teu wasa” – “tabu”. Mungkin alasan ini dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan terceritakan dan keturunannya, atau semacam menutup aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Cerita cerita dalam kesejarahannya pernah menjadi rahasia umum seperti tentang Mandiminyak dan Tamperan. Cerita Mandiminyak dianggap tidak lazim karena berhubungan dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakaknya, hingga melahirkan Bratasenawa. Demikian pula cerita Tamperan yang dianggap aib setelah berhubungan Dewi Pangrenyep istri dari Permana Dikusumah. Tetapi hukum dan realitas pemenuhan data kesejarahan resmi seolah-olah menganggap tidak mau tahu dengan urusan ini. Mungkin alasan ini pula yang berakibat urang sunda tidak memiliki data sejarah, sehingga dianggapnya kurang bersejarah. Kisah Kendan dan Galuh didalam Carita Parahyangan diuraikan, sbb : Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun. Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, njajang di pangjarahan Bagawat resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna. Carek bikangna: "Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak." Carek Bagawat Resi Makandria: "Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu."Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: "Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka Kendan." Manehna datang ka Kendan. Carek Sang resi Guru: "Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?" "Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati. Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak." Carek Sang resi Guru: "Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu geuwat susul Bagawat Resi Makandria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh, anaking." Pwah Rababu terus nyusul, datang ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi. Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama. Carek Sang Resi Guru: "Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung." Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak Mangalengale. Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun. Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara. Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati. Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti. Carita Parahyangan menjelaskan Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun. Itulah leluhur raja-raja Galuh Pembentukan Galuh dari Kendan menjadi Galuh yang merdeka. Penggantian nama Kendan menjadi Galuh bukan sekedar mengganti nama ditempat dilokasi yang sama. Seperti Sunda Kalapa menjadi Jakarta, melainkan memang ada perpindahan lokasi kegiatan pemerintahan secara fisik untuk alasan tertentu. Alasan ini tentu terkait dengan efektifitas pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan keagamaan. Sang Manikmaya pertama kali menjalankan pemerintahannya didaerah Kendan, sekaligus menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan Sang Suralim, putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suralim sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suralim tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya. Sang Suralim memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang Kandiawan kemudian di jadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan takhta dari ayahnya ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalan pemerintahannya di Medang Jati. Menurut buku penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), Kandiawan untuk tetap di Medang Jati sangat terkait dengan keagamaan. Di Kendan waktu itu sudah mulai banyak para penyembah Syiwa, sedangkan ia penyembah Wisnu. Sang Kandiawan memiliki 5 orang putra, Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya, mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan disebabkan berhasil menombak kebowulan, mungkin menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Hal yang paling mendekati dimungkinkan adanya alasan keagamaan. Pemegang kekuasaan dalam tradisi kendan biasanya dipegang oleh seorang rajaresi. Dari kelima palaputra Sang Kandiawan yang memenuhi syarat sebagai raja resi hanyalah Wretikandayun. Tentang Keturunan Kandiawan ini diuraikan dalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut : Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja. Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung. Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun. Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale. Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang. Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit. Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti. Sebagaimana diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara. Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman Raja ke-9) memang sudah krisis kewibawaan dimata raja-raja daerah. Masalah ini terus berlanjut hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tida memiliki putra Mahkota, pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Suatu kerajaan dibawah Tarumanagara (lihat kerajaan Sunda). Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman (Raja ke-3) yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia memindahkan mengubah nama Tarumanagara menjadi Sunda, tanpa memperhitungkan akibatnya terhadap negara bawahannya, menjadi merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, padahal pamor Tarumanagara saat itu sudah jauh menurun, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura, sesama bawahan Tarumanagara. Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh Pendiri Galuh Wretikandayun dikenal sebagai raja Galuh pertama bahkan dianggap pendiri Galuh pasca Kendan. Wretikandayun diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun 534 Saka atau 612 M, saat ia baru berumur 21 tahun. Pada masa pengangkatannya Galuh masih berada dibawah kekuasaan Tarumanagara (masa Maharaja Kertawarman, Raja ke-8). Kemudian pada tahun 670 M, Wretikandayun berhasil membawa Galuh menjadi kerajaan yang berdaulat lepas dari kekuasaan Sunda (dhi. Ex Tarumanagara). Wretikandayun tidak memilih pusat kegiatan pemerintahan di Kendan atau Medang Jati, sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya, tetapi memilih suatu daerah baru yang subur, diapit dua hulu sungai, Citanduy dan Ciwulan. Saat ini dikenal dengan sebutan Karang Kamulyan, terletak di Cijeungjing Ciamis. Tempat tersebut kemudian ia namakan Galuh (Permata). Pada masa Wretikandayun nyaris tidak ada petumpahan darah, baik didalam Galuh maupun dengan Negara lain. Hal ini disebabkan pengalamannya dalam memimpin Galuh yang sangat lama (612 – 702 M), iapun akhli melakukan diplomasi, bahkan ketika memerdekakan Galuh tidak setetes pun darah tertumpah. Dimasa kepemimpinan Wretikandayun Galuh dapat memerdekakan diri dari Sunda. Ia sendiri mengabdi sejak jaman Kertawarman, raja ke-8 sampai dengan jaman Linggawarman, raja ke-12). Dalam Carita Parahyangan dijelaskan Wretikandayun berjodoh dengan Pwah Bungatak Mangalele (Manawati) dengan gelar Candraresmi. Dari pernikahannya ia memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (620M), Jantaka (622M) dan Amara (624 M). Namun Sempakwaja dan Jantaka dianggap memiliki cacat tubuh maka Wretikandayun menganggap yang layak untuk menggantikannya hanya Amara, dengan gelar Mandiminyak. Sebenarnya jika sejarah tersebut digali lebih jauh lagi, ada perbedaan sifat dari putra-putra Wretikandayun. Sempakwaja dan Jantaka lebih tekun mempelajari masalah keagamaan, sedangkan Amara lebih senang berpesta dan berpesiar. Untuk meredam masalah, Wretikandayun menempatkan Sempakwaja sebagai resiguru di Galunggung, kemudian ia bergelar Danghiyang Guru. Dari perkawinan dengan Rababu melahirkan Purbasora dan Demunawan. Sedangkan Jantaka dijadikan resiguru di Denuh, dengan gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul karena letak Denuh ada di Galuh Selatan. Ia memiliki putra yang bernama Bimaraksa, senapati Galuh dikenal dengan nama Ki Balangantrang. Wretikandayun memiliki umur panjang, ia wafat pada tahun 702 M dalam usia 111 tahun dan memeritah Galuh sejak usia 21 tahun menggantika ayahnya Sang Kandiawan. Sebagai penggantinya ia mengangkat putra Mahkota, Mandimiyak, putra bungsunya. Kemerdekaan Galuh Sebagaimana diuraikan diatas, Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Kerajaan lain. Namun pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, nama kerajaan pengganti Tarumanagara. Kondisi Tarumanagara sejak masa Maharaja Sudawarman, raja Tarumanagara ke-9) memang sudah krisis kewibawaan dimata raja-raja daerah. Dimungkinkan tidak terjaga hubungan baik dan kurangnya pengawasan terhadap negara-negara bawahan yang telah diberikan otonomi oleh raja-raja terdahulu, atau tidak menguasai persoalan Tarumanagara, karena sejak kecil tinggal dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa. Kalaupun Sudawarman mampu menyelesaiakan tugas pemerintahannya, semata-mata karena kesetiaan pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir: bagaimana menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik. Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat, merupakan daerah bawahan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai mencapai masa keemasan. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali. Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika para pengganti Sudawarman mampu mengelola hubungan dengan raja-raja bawahan maupun raja-raja diluar Tarumanagara. Demikian pula pada masa pemerintahan Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Setelah Linggawarman wafat pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, bergelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmang-galajaya Sundasembawa. Ia memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M), sebelum menjadi penguasa Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura, raja daerah dibawah Tarumanagara. Tarusbawa bercita-cita mengangkat kembali kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia memindahkan mengubah nama Tarumanagara menjadi Sunda (Sundapura atau Sundasembawa). Namun kondisinya sangat berbeda dengan Purnawarman, selain Purnawarman menguasai strategi peperangan dan pemerintahan, dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power. Penggantian nama kerajaan yang dilakukannya tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda mengakibatkan raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, padahal pamor Tarumanagara dsaat itu sudah jauh menurun, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura, sesama bawahan Tarumanagara. Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena memiliki hubungan sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat. Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, namun ia menganggap sulit memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah. Memang ultimatum Wretikandayun bukan suatu ancaman kosong, meningat ia sudah memiliki hubungan diplomastik yang cukup kuat dengan Kalingga, ia pun mengawinkan Mandiminyak, putra bungsunya dengan Parwati, putri Kartikeyasinga denga Ratu Sima, penguasa Kalingga. Demikiam pula Kalingga memiliki kepentingan terhadap Galuh guna menghadapi ekspansi Sriwijaya (lihat kerajaan Sunda). Pada kisah berikutnya, : Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Ia merelakan kerajaan terpecah menjadi dua. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negara. Konon kabar Citarum akan selalu dijadikan batas wilayah antara Sunda dan Galuh, sebagaimana jaman Manarah. Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dimasa berikutnya disebut juga Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh. Pewaris Tahta Galuh Kisah Mandiminyak Semasa hidupnya Wretikandayun telah mengangkat Amara dengan gelar Mandiminyak, putra bungsunya sebagai putra Mahkota Galuh. Mandiminyak naik tahta menggantikan ayahnya pada tahun 702 M. Mandiminyak bertahta di Galuh pada tahun 702 M sampai dengan 709 M. Tradisi pengangkatan putra bungsu sebagai putra mahkota Galuh bukan sesuatu yang baru, Wretikandayun juga pada saat diangkat adalah putra bungsu dari Sang Kandiawan. Alasan ini dapat ditemukan dalam buku sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), yakni Wretikandayun mengangangkat Mandiminyak karena Sempakwaja, putra pertama tanggal giginya sedangkan Jantaka, putra kedua menderita hernia. Mandiminyak dikenal tampan dan cakap. Ia paling disayang oleh Wretikandayun. Ditunjang dengan perkembangan Galuh yang makin pesat, ia pun dikenal sering berpesta dan pesiar. Hingga pada suatu pesta ‘bulan purnama’ terjadilah hubungan yang tidak lajim dengan Rabbabu, istri Sempakwaja. Hubungan ini didalam Carita Parhayangan diceritakan membuahkan seorang putra yang diberi nama Sena. Untuk meredakan masalah ini Wretikandayun menjodohkan Mandiminyak dengan Parwati, putri Kalingga. Namun Purbasora dan Demuwan putra Rababu dari Sempakwaja menaruh dendam terhadap anak ini. Kelak terjadi perebutan tahta Galuh (Lihat Cerita Balangantrang khususnya pada masa Purbasora). Sebelum memerintah Galuh, Mandiminyak tinggal di Kalingga bersama-sama istrinya memerintah Kalingga. Pengalaman memerintah ini sangat membantu tugasnya kelak di Galuh, terutama dalam menyelesaikan masalah diplomatik dengan Negara lain. Ketika Wretikandayun mangkat maka Ia kembali dan tinggal di Galuh untuk menjalankan pemerintahan. Namun Parwati, istrinya masih tetep memerintah di Bumi Mataram, pecahan dari Kalingga. Mandiminyak kemudian berupaya memperbaiki hubungan Galuh dengan Sunda yang sempat pecah ketika Galuh menyatakan memisahkan diri dari Sunda, bahkan Terusbawa, raja Sunda menyatakan ketidak setujuannya kepada penguasa Sriwijaya untuk menyerang Kalingga. Mandiminyak kemudian menjodohkan cucunya, Sanjaya putra Sena dengan Teja Kencana, cucu Terusbawa. Dari perkawinan tersebut melahirkan Tamperan (Barmawijaya). Posisi dari perkawinan ini menempatkan Galuh sebagai kerajaan yang kuat, bahkan lebih kuat lagi ketika Sanjaya diangkat untuk menggantikan Terusbawa sebagai raja Sunda. Namun karena alasan pengangkatan Mandiminyak dan perilaku dimasa lalu dianggap tidak pantas, Mandiminyak tidak sepenuhnya mendapat simpati dari kerabat Galuh. Kondisi ini pula yang menjadi sekam, kelak mempermudah pemberontakan Purbasora. Mandiminyak meninggal pada tahun 709 M. Sena atau Bratasenawa Sepeninggal Mandiminyak pada tahun 709 M Galuh diserahkan kepada Sena, putra dari hasil hubungannya dengan Rababu. Sena dianggap berbeda dengan perangai ayahnya. Ia dikenal sebagai raja taat beragama dan baik hubungannya dengan siapa saja. Dari sifatnya ini, Sena sangat dihormati oleh kaum agamawan. Sekalipun demikian, kerabat Galuh masih sangat membenci, karena peristiwa kelahirannya memang sangat tidak dikehandaki. Cerita yang mungkin dapat dijadikan rujukan tentang kelahiran Sena dilukiskan dalam Cerita Parahyangan. Dimulai ketika Mandiminyak mengadakan pesta di bulan purnama yang dihadiri Rababu, tanpa Sempakwaja. Mandiminyak memang dikenal kecakapan dan ketampanannya, ia mampu meluluhkan hati Rababu pada peristiwa pesta bulan purnama tersebut, hingga terjadi Smarakarya. Dari perbuatannya tersebut lahirlah Sena. Dalam cerita Parahyangan digambarkan peristiwa kelahiran Sena, sbb : Carek Rahiang Sempakwaja: "Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah." Rababu tuluy leumpang ka Galuh. "Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea." Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?" Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan!" Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak. "Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!" Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena. Diriwayatkan pula Sena sangat menghormati Purbasora dan Demuwan sebagai kakak dari satu ibu. Namun sebaliknya Purbasora dan Demuwan sudah terlanjur sangat membenci. Sena bersahabat dengan Terusbawa, raja Sunda. Mungkin juga karena Terusbawa sahabat ayahnya dan kakek mertua Senjaya, anaknya. Bahkan ketika Sanjaya merebut Galuh, Sena berpesan agar Sanjaya tetap menghormati orang-orang tua di Galuh. Sena mengetahui akan terjadi pemberontakan yang dipimpin Purbasora. Secara diam-diam ia mengirimkan utusan ke Sunda untuk meminta bantuan Terusbawa. Namun pasukan Sunda terlambat tiba di Galuh. Sehingga Purbasora sudah mendahulu merebut Galuh. Ketika Sena mengetahui Galuh telah dilumpuhkan Purbasora dan Demuwan, ia meloloskan diri ke Jawa tengah. Namun sebagai putra Mahkota Kalingga Utara, iapun kembali ke Kalingga Utara yang waktu itu diperintah oleh Parwati, ibunya. Dengan terusirnya Sena dari Galuh maka hubungan baik antara Kalingga dan Galuh yang telah dirintis oleh Wretikandayun menjadi terpecah bahkan bermusuhan. Sena memerintah Galuh selama 7 tahun dan berakhir pada tahun 716 M. Dengan terpaksa ia pun meletakan jabatannya sebagai penguasa Galuh dan membiarkannya dikuasai Purbasora. Masa Sena di Galuh dilukiskan dalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut : Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun. Pemberontakan Purbasora Cerita yang sering hilang dari alurnya adalah adanya perebutan tahta dari para keturunan Wretikandayun, disatu pihak keturunan Mandiminyak dan disisi lain yang merasa lebih berhak terhadap tahta Galuh adalah keterunan Sempakwaja dan Jantaka. Namun Wretikandayun memiliki pandangan lain, Sempakwaja dan Jantaka dianggap tidak layak memimpin Galuh karena memiliki cacat tubuh, sedangkan Mandiminyak dianggap cakap memimpin Galuh. Alasan kedua sangat terkait dengan sejarah kelahiran Sena sebagai diuraikan diatas, akibat perilaku Mandiminyak yang dianggap tidak lajim oleh keturunan Wretikandayun lainnya, hingga melahirkan putra dari Rababu, istri Sempakwaja, menyisakan dendam dihati anak-anak Rababu lainnya dari Sempakwaja (Purbasora dan Demuwan). Perilaku menyimpang ini didalam sejarah raja-raja tatar sunda selalu diberi cap kurang baik. Selain hal tersebut, dilihat dari kesejarahan Galuh yang didirikan oleh seorang resi, mereka lebih menghormati raja-raja yang minandita. Disini ada semacam pesan moral yang terkait dengan masalah (bibit, bobot, bebet). Bahkan dalam cerita Parahyangan disebut berulang-ulang dan panjang lebar. Sekalipun Sena terkenal sebagai orang alim dan sangat dihormati para tokoh agama namun kurang mendapat sambutan dilingkungan keluarga Galuh. Masalaih ini yang mempermudah Purbasora menjatuhkan Sena, sehingga pada 716 M Sena dijatuhkan dari takhtanya, akibat pemberontakan yang dipimpin Purbasora. Pada saat melakukan pemberontakan tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan Bimaraksa. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan Bhayangkara, balabantuan dari Indraprahasta (kerajaannya terletak di Cirebon Girang). Bimaraksa dikenal pula sebagai senapati yang akhli memainkan berbagai jenis senjata dan akhli strategi perang. Mengingat peran Bimaraksa yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh. Keberpihakan Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh. Dukungan Politik dan Diplomasi. Purbasora pada saat menggulingkan Sena mendapat dukungan dari pasukan Indraprahasta, kerajaan yang terletak (cikal bakal) di Cirebon Girang. Pasukan ini secara turun temurun telah teruji keberaniannya sebagai bhayangkara pengawal raja Tarumanagara sejak jaman Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanagara ke-4. Mereka sangat mahir menggunakan senjata, terkenal berani dan ulet serta setia kepada raja. Kondisi inilah yang mendukung Purbasora dalam menaklukan pasukan Galuh. Kedekatan Purbasora terhadap Indraprahasta dikarenakan ada pertalian perkawinan. Purbasora menikahi putri Citra Kirana, putri sulung Padmahariwangsa, raja Indraprahasta. Dari perkawinan ini menghasilkan seorang putra yang bernama Wijayakusuma. Dikelak kemudian hari setelah berhasil merebut Galuh, Purbasora mengangkatnya sebagai putra mahkota Galuh. Gerakan politis lain yang digunakan Purbasora adalah menjaga hubungannya dengan Terusbawa, raja sunda, mertua dari anak Sena, yaitu Senjaya. Dalam kasus ini Purbasora menganggap tidak perlu berhadapan dengan raja sunda, karena ia hanya ingin menyingkarkan Sena, sehingga iapun membuka jalur diplomasi dengan Sunda. Pada cerita Sena diatas diuraikan, Sena mengetahui Purbasora akan melakukan penyerangan terhadap Galuh. Ia kemudian mengirimkan utusan untuk meminta bala bantuan dari Sunda. Namun pasukan Sunda terlambat tiba, karena pasukan tersebut datang setelah Purbasora mampu menyingkarkan Sena. Purbasora mengetahui pasukan Legiun Sunda akan tiba di Purasaba Galuh. Ia memutuskan untuk bersama duta besar Sunda menyambut pasukan Sunda. Purbasora menawarkan pasukan Sunda untuk tetap menjadi sahabat dan menjamu di Galuh. Sekalipun demikian ia pun sudah mempersiapkan diri jika diplomasi ini tertutup. Pada akhirnya Duta Besar Sunda berhasil membujuk pasukan Sunda, dengan pertimbangan untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih besar lagi, serta alasan keselamatan keluarga Duta Besar itu sendiri, pada saat itu menjadi sandera di keraton Galuh, dengan alasan dianggap sebagai tamu kehormatan Galuh. Selanjutnya Purbasora meminta Duta Sunda untuk mengantarkan surat kepada Raja Sunda, isinya mengajak untuk bersahabat dan menganggap masalah Galuh adalah urusan intern keluarga yang harus diselesaikan oleh orang-orang Galuh. Terusbawa menerima ajakan tersebut, karena selain tidak mau memulai perseteruan baru, ia pun sedang disibukan oleh makin merajalelanya bajak laut. Konon kabar para bajak laut itu yang didalangi Sriwijaya. Lain halnya dengan Sanjaya, anaknya Sena dan keluarga Kalingga, kejatuhan Sena menimbulkan rasa malu sakit hati dan yang tak terobati. Secara diam-diam Sanjaya menggalang diplomasi dengan kekuatan lainnya. Pada saat itu ia telah menjadi putra mahkota Sunda, hasil perkawinannya dengan Teja Kencana, cucu Terusbawa. Disisi lain Sanjaya pun menikah dengan Sudiwara, putri Dewasinga dan cucu Narayana, adik kandung Parwati istri Sena. Sungguh kekuatan Sanjaya sangat luar biasa. Purbasora memiliki hubungan persahabatan dengan Terusbawa, kakek mertua Sanjaya. Hubungan ini mengakibatkan Terusbawa berada dipihak yang sulit menentukan. Terusbawa juga memperhitungkan kekuatan Galuh yang memiliki bhayangkara tangguh. Ia pun hanya menyarankan agar Sanjaya lebih berhati-hati melakukan tindakannya. Berkat keuletan Sanjaya dan pasukan perang Sunda dibawah pimpinan Patih Anggada yang handal, akhirnya dimalam buta Sanjaya mampu merebut Galuh dan menewaskan Purbasora. Namun didalam kemelutan itu, Sanjaya menepati janjinya. Ia tidak menghabisi keluarga lainnya, termasuk Bimaraksa. Selanjutnya Bimaraksa lari ke Geger Sunten, iapun membentuk gerilyawana untuk merebut Galuh kembali dari tangan Sanjaya. Ketika Purbasora wafat, ia telah berumur 80 tahun. Purbasora memimpin Galuh sejak 716 sampai dengan 723 M. Dalam naskah carita parahyangan dikisahkan : “Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya”. ( Bersambung )

Oleh: Yudhi S Suradimadja

Sabtu, 19 Maret 2011

Ngawartosan Bulu Tu'ur

Numutkeun pamendak para ahli, kecap "Sunda" tos dianggo dina kitab Mahabharata ( sateu acan lahir Nabi Isa) . Hartosna kecap Sunda nyaeta " cai "( numutkeun bahasa Kawi ), margi : (a),Tanah Sunda teh gemah ripah -repeh rapih loh jinawi, cur cor cai dugi tempat oge seueur nu diawalan ku " Ci ". (b) Sindhu atanapi Hindu huluwotan kabudayaan Indonesia umumna sareng kebudayaan Sunda khususna, sedeng bahasa Kawi nyaeta nu mentaskeun bahasa Sangsekerta kana bahasa Indonesia sareng suku bangsa ; Malayu, Jawa, Sunda jst. Bangsa sareng bahasa Sunda kalebet golongan Austronesia, kumargi eta ngawitan ayana bangsa sareng bahasa sunda tiasa janten ti nyebarna karuhun bangsa austronesia ti Hindia tukang palih kaler, iwal ti bangsa Negrito sareng Weddoid nyaeta dina jaman pertengahan Neolithicum, kinten kirang langkung 4000 th kpengker. Salajengna tanah Sunda atanapi karajaan Sunda parantos aya ti jaman maharaja Sri Djajabhupati tahun 1030 dugi ka runtagna dayeuh pakuan Padjadjaran dina tahun 1579 ( waktos di tajarang ku panembahan Yusuf Sultan Banten) legana kirang langkung sami sareng prop Jawa barat. laju nu ngawitan maparin nami " Indonesia " urang Inggris wastana Widsor Earl sareng Logan dina tahun 1850.lajeng di umumkeun ku A. Batian ( urang Jerman) tahun 1884. ( di cutat tina De herkomst van de Indonesische talen = asal muasal basa Indonesia sareng, Winkler Prins Algemeene Encyclopaedie ). bilih aya pamendak nu sanes mangga urang silih auban

sumber: eros Rosnida/facebook

Rabu, 16 Maret 2011

SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI?

Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran

Prabu Siliwangi

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".

Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Biografi

Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Kebijakan dalam kehidupan sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
[sunting] Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja
DIEDIT ALAKADARNA KU: Sopian Wali

KECAP RAJEKAN (BASA SUNDA)

Numutkeun sumber nu kapendak tina http://su.wikipedia.org/wiki/Kecap_Raj...

Kecap rajekan nya eta kecap anu disebut dua kali boh engangna atawa wangun dasarna. Salian ti di rajek engang atawa wangun dasarna, ilaharna aya oge nu ditambahan ku rarangken, bor rarangken hareup atawa rarangken tukang.

Kecap Rajekan kabagi kana sababarha jinis, diantarana:

1. Rajekan Dwipurwa Rajekan dwi purwa asalna tina dua kecap nya eta "dwi" nu hartina "dua" jeung "purwa" nu hartina "mimiti atawa awal". Rajekan dwi purwa kaasup kana rajekan nu dirajek engangna atawa suku katana. contona: Mobil jadi momobilan, motor jadi momotoran

2. Rajekan Dwimadya Rajekan dwi madya asalna tina dua kecap nya eta "dwi" nu hartina "dua" jeung "madya" nu hartina "tengah. jadi rajekan dwimadya nya eta kecap anu dirajek engang tengahna. contona: Sapeuting jadi sapeupeuting, sapoe jadi sapopoe.

3. Rajekan Dwilingga Rajekan dwilingga nya eta kecap anu dirajek wangun dasarna. Anu di dirajek wangun dasarna bari teu ngarobah sora (Dwimurni), jeung dirajek wangun dasarna bari ngarobah sora (Dwi reka). Conto kecap rajekan dwimurni: mobol-mobil, motor-motor, jalma-jalma, jrd. conto kecap rajekan dwireka: Pulang-pelong, luak-lieuk, tual-toel, jrd.

4. Rajekan Trilingga Rajekan trilingga nya eta kecap anu dirajek atawa disebut tilu kali wangun dasarna. ilaharna ngan kecap nu dirajek ku rajekan trilingga ngan diwangun ku 3 atawa 4 hurup. Contona: tang-ting-tung, dat-dit-dut, trang-tring-trung, jrd.